Kampanye atau Narsis

Ketika saya masih remaja dan aktif mengelola komunitas di daerah, saya pernah berurusan dengan Dinas Pendapatan Daerah ( dispenda ). Ketika itu saya akan mengadakan ajang kreatifitas pelajar tingkat SMA se-kecamatan yang kebetulan ada perusahaan produk yang bersedia menjadi salah satu sponsor kegiatan tersebut. Pihak sponsor bersedia mendanai hingga 60 % pelaksanaan kegiatan dengan beberapa ketentuan. Salah satunya mereka minta bukti pembayaran pajak reklame dari pemerintah setempat. Hal tersebut membuat saya mengerti bahwa ada peraturan daerah mengenai pajak reklame. Dan ketika itu saya mencoba meminta keringanan pembayaran kepada Dinas tersebut karena pajak reklame ini menjadi tanggungan panitia yang saya pimpin dan sangat banyak jumlahnya. Namun dengan seribu alasan tiada dispensasi yang di berikan dan kami harus membayar penuh dengan hitungan per-meter sebesar Rp.15.000/Meter , bayangkan ketika itu kami harus pasang 100 umbul-umbul dengan lebar 3 X 1 M dan 5 baleho ukuran 4 x 3 M beberapa spanduk ukuran 6 meter, tentu jumlah nya akan sangat besar bila dinominalkan jadi rupiah.Walhasil besar pasak dari pada tiang dalam pelaksanaan kegitan pelajar tersebut.. Hal tersebut menggugah dan membuat saya tersadarkan dengan tradisi yang berkembang menjelang pemilu legeslatif dan presiden ini dimana spanduk, baleho, dan atribut kampnye partai politik dan Caleg terpasang dimana mana, apakah hal ini menjadi pengecualian dalam menjaga keindahan dan kenyamanan ruang publik?


Pemanfaatan berbagai media sebagai sarana kampanye menjamur dimana-mana. Media luar ruang seperti spanduk, baleho pamflet dll, bermunculan dan dapat ditemui dimana-mana dan disetiap lorong di negeri ini. Tanpa ada aturan pemasangan ataupun alasan keberatan dari pemerintah dan masyarakat prihal tradisi yang amburadul tersebut. Selain merusak ruang publik, keindahan dan kenyamanan pun terusik dengan seleweran media-media tersebut pra-perhelaan pesta demokrasi di negeri ini..

Saya ingat ketika saya berkunjung ke Mesir, disana saya sempat kagum dengan kebesaran kerajaan dan kekuasaan Fir’aun. Hingga ia mampu menguasai daerah dan peradapan di negerinya. Sebagai seorang raja, Fir’aun sangat mendewa-dewakan dirinya, hingga ia mempoklamirkan diri sebagai tuhan, dan hal itu membuat ia di kutuk dan kisahnya menjadi pelajaran bagi kita sekarang. Kebiasaan fir’aun yang suka dibesar-besarkan dan disebut-sebut serta memaksa perhatian dan persepsi masyarakatnya untuk mengagungkannya ia wujudkan dengan pemasangan patung-patung dirinya serta gambar dirinya disetiap sudut dan lorong kota. Dan hal ini menjadi sebuah pertanda dan ciri dari kepemimpinan yang diktator, totaliter dan militeristik yang melegenda. Ketika hal diatas kita hubungkan dengan tradisi yang berkembang menjelang pemilu di negeri ini, maka beberapa hal yang akan menjadi perhatian kita tentang alasan pemanfaatan media luar ruang sebagai media unjuk diri dan kampanye.

Media kampanye yang di posisikan sebagai penarik perhatian public ( community salience ), dalam hal tersebut menjadi salah satu strategi yang diprioritaskan dalam kampanye. Selanjutnya media seperti baleho, spanduk, pamflet adalah menjadi alat komunikator untuk menyampaikan pesan-pesan kampanyenya. Karena kepentingannya adalah merebut hati rakyat untuk sebuah posisi dan kekuasaan negara seharusnya mereka menyampaikan visi dan misi kepemimpinannya kelak melalui visualisasi gambar, pesan media tersebut. Karena pada hakekatnya seorang legeslatif ( DPR, DPRD ) dan eksekutif ( kepala negara, daerah) adalah pemimpin yang akan menjalankan amanah dan mandataris dari rakyat yang memilihnya atas dasar kepercayaan dan pilihan itu sendiri. Logisnya sudah sepatutnya para calon legislator dan eksekutor ini menjadi ushwah ( tauladan, contoh ) yang baik bagi masyarakat yang kelak akan ia pimpin dalam menjalankan perangkat peraturan yang sudah ada atau yang ideal yang akan kelak ia produksi dan tertibkan nantinya. Ironisnya hal tersebut justru jarang terjadi, Demam narsis seakan tak terbendung dan tak menghiraukan aturan. Baleho, spanduk, pamflet dipasang dimana saja, dan nyaris merusak kenyamanan ruang publik yang seharusnya itu ia jaga dan tertibkan agar tidak merusak keindahan dan ruang publik, Belum lagi diperbolehkan kampanye, baleho sudah membanjiri seluruh ruas jalan dan tempat di negeri ini,. Dan itu kita saksikan dalam beberapa kasus dimana Panwaslu membersihkan ruang publik dari seleweran baleho dan spanduk serta atribut partai bersama pamong praja dan aparatur lainnya, dan hal ini menjadi satu cerminan dan pertanda konsistensi sebagai pemimpin kelak dan tanpa ada sanksi dan vonis yang jelas bagi kompetitor yang melanggar aturan ini.

Kita juga tentu akan mempertanyakan efektifitas media komunikasi untuk kampanye dari bentuk dan coraknya. Sebetulnya mau kampanye atau sekedar narsis kah kebanyakan peserta pemilu ini?...pertanyaan ini sering muncul melihat beberapa gambar caleg yang terpajang besar justru lebih mirip dan pantas menjadi bintang iklan produk tertentu, dengan jas dan dasi yang rapi serta sambil senyum terumbar manis ( kadang tidak seperti realita orangnya ). Dari beberapa orang Caleg yang penulis tanya kan, rata rata mereka menjawab ini bagian dari cara serta strategi sosialisasi dan kampanye, beberapa masyarakat justru tertawa menganggap hal tersebut sangat lucu dan banyak diantaranya yang tidak substansif dengan tujuannya.

Pertama, Baleho-baleho, spanduk, stiker dan pamflet tersebut sangat minim membawa pesan kampanye partai yang ia usung atau visi dan misi kepemimpinan yang kelak akan ia lakoni. Atau pemilihan gambar yang tidak sesuai dengan pesan yang ia sampaikan ( hanya menampilkan ke-gantengan-nya berfose ), dan juga sama sekali tidak mampu memberikan umpan balik agar komunikasi kampanyenya tak searah. Tentunya hal itu harus sesuai dengan frame of reference atau field of reference public sehingga nanti nya akan mendapat direspon. Atau kah mungkin itu memang sudah pesan aslinya, ketika ia terpilih ia akan berlagak necis dengan jas dan dasi berhadapan dengan masyarakat sambil mengumbar janji dan sesekali tersenyum manis seperti pesan yang ia gambarkan kepada khalayak melalui media baleho tersebut. Kalau ini yang terjadi maka tak heran fenomena ”kacang lupa kulitnya” akan terus terjadi dinegeri ini. Istilah ” politik bau WC ” kemungkinan berlaku dalam hal ini, dimana kita tau kebiasaan orang apabila lagi buang hajat di toilet, maka ia tidak akan jijik dan merasa bau dengan hajat yang ia keluarkan., tapi ketika ia telah keluar dan masuk lagi dan ternyata hajatnya belum hilang dari tiolet tersebut atau belum disiramnya, maka ia akan merasa sangat jijik dan bau mencium dan melihat hajatnya sendiri. Begitulah abstraksi yang pantas buat politisi dan kompetitor yang tidak menghiraukan aturan dan menjaga kenyamanan, keindahan, ketertiban yang kelak ia lakoni sebagai penertib maupun pamong. Bagaimana ia bisa menertibkan hal itu, sementara ia sendiri tidak tertib dan efektif.

Hypodhermic needle theory ( teori jarum hipodermik ) dari Wilbur Scharam yang menyatakan segala hal yang disampaikan media masa cenderung akan ditelan mentah mentah dan diterima oleh masyarakat. Dan teori ini menyatakan tentang kekuatan media hingga mampu memegang kendali pikiran publik yang bisa pasif dan tak berdaya dan mampu membangkitkan emosi dan desakan atau proses lain yang tidak terkontrol oleh individu. Hingga melahirkan sebuah persepsi ( perangkat nilai, asumsi ) terhadap apa yang disampaikan.Bagaimana dengan asumsi publik terhadap beberapa materi dan efektifitas media komunikasi untuk kampanye seperti baleho tersebut?

Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi masyarakat dengan simbol-simbol yang representasi apa yang ia maksudkan (.Teori Interaksionalisme simbolik ) untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya yang juga dapat menafsirkan simbol tersebut terhadap prilaku pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Media sebagai sebuah strategi untuk mempengaruhi persepsi ( asumsi, nilai, gagasan ) publik sering kali tidak diperhatikan peran dan fungsinya, apakah efektif dengan gambar narsis ? Lantas kira-kira persepsi apa yang muncul?

Oleh karenanya, beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yang pertama tentang tauladan ( contoh yang akan diikuti ) kepemimpinan, dimana kita berharap mendapatkan pemimpin yang konsisten dan mengerti dengan tanggung jawabnya. Kedua, Efektifitas penggunaan media kampanye, Seharusnya ada pemahaman yang lebih mendalam tentang makna kampanye itu sendiri, dan substansi pesan kampanye melalui media yang akan ia sampaikan kepada khalayak. Ketiga, menata keamanan, ketertiban dan keindahan ruang publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan seharusnya calon pemerintah yang harus merasa siap lebih paham tentang hal ini, agar tak ada kesan prematur dalam kepemimpinan. Selanjutnya tradisi populer dengan cara narsis, apakah hal ini memiliki korelasi dengan kinerja kepemimpinannya, atau Cuma menjadi tradisi sebagaimana cara yang dilakukan oleh fir’aun untuk membangun persepsi dan asumsi hingga ia perlu dikultuskan oleh masyarakatnya sebagai dewa atau tuhan oleh masyarakatnya.

Seguir leyendo...

Surat Cinta buat Shireen Sungkar

Oleh : M Aan

DALAM pelajaran sastra di sekolah, bukan penyair atau pengarang yang ditanyakan guru, tapi nama-nama pemain sinetron. Karena itulah, saya mengirim surat ini padamu, Shireen.
***

RUANG guru. Pukul 11.00. Seorang membacakan sebuah kalimat kepada seorang lain yang duduk di depan mesin ketik tua. Sebutkan nama-nama pemeran sinetron Cinta Fitri! Perempuan yang duduk di depan mesin ketik itu meminta diulangi. Perempuan di dekatnya mengulangi. Lebih pelan. Kata per kata. Sebutkan-nama-nama-pemeran-sinetron-Cinta-Fitri. “Tanda seru,” kata perempuan itu mengakhiri kalimatnya.

Shireen, adegan itu tidak diambil dari sebuah sinetron. Adegan itu saya saksikan sendiri Juni lalu saat mengunjungi sebuah Sekolah Menengah Pertama di Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. (Apakah gurumu pernah menyebut pulau seluas 3.333 km² itu di pelajaran geografimu?) Dua perempuan dalam adegan itu sedang mempersiapkan soal ulangan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk siswa mereka. Esok harinya puluhan siswa kelas dua sekolah itu wajib menjawab soal itu agar tidak disebut bodoh.

Sekolah itu terletak di sebuah desa bernama Lorwembun, Shireen. Jika kau hendak ke sana, kau harus ke Ambon dulu dengan 4 jam penerbangan. Dari Ambon ke Saumlaki, ibukota kabupaten itu, kau membutuhkan waktu 2 jam lagi. Dari Saumlaki ke Lorwembun kau membutuhkan waktu sehari perjalanan. Naik bus di jalan yang tak beraspal setengah perjalanan. Lalu naik sampan menyeberangi sungai. Kemudian naik speed boat membelah laut, jika beruntung ada speed boat. Kalau tidak ada kau harus rela menunggu hingga esoknya lagi. Sungguh, Shireen, itu perjalanan yang sangat melelahkan!

Di Lorwembun tak ada listrik, Shireen. Telivisi yang hanya dimiliki sedikit rumah di desa itu butuh bahan bakar yang mahal. Bahan bakar itu hanya bisa didapatkan di Saumlaki, di mana satu-satunya pasar di pulau itu berada. Agar mereka bisa beli bahan bakar, ibu-ibu harus menjual hasil kebun mereka ke Saumlaki. Ubi, pisang dan kelapa. Kebun-kebun itu jauh dari rumah mereka. Ada yang sampai 10 kilometer. Mereka harus jalan kaki naik-turun gunung untuk mencapainya. Hasil kebun itulah yang mereka jual agar bisa beli bahan bakar. Jika pergi ke pasar, ibu-ibu itu membutuhkan 3 hari sebelum tiba di rumah mereka.

Mereka rela melakukan semua itu agar setiap malam anak-anak mereka bisa menontonmu. Agar bisa melihatmu menangis tersedu-sedu di telivisi. Agar mereka bisa meniru gayamu. Agar bisa menjawab soal ulangan dari guru mereka, Shireen. Dan apakah kau tahu, saat di Jakarta pukul 20.00 di Lorwembun sudah pukul 22.00? Apakah kau tahu, Shireen?

***

RAYMOND Williams (kau pernah dengar namanya, Shireen?) pernah mengatakan bahwa media hiburan utamanya televisi kini telah menjadi institusi pendidikan jutaan anak di dunia. Kau itu guru, Shireen, bagi anak-anak Lorwembun dan jutaan anak lain di Indonesia. Cinta Fitri, yang sudah ratusan episode itu, adalah mata pelajaran. Saya pernah mendengar produsermu akan membuat Cinta Fitri bisa memecahkan rekor sebagai mata pelajaran terpanjang di Indonesia. 777 episode. Itu sungguh angka yang cantik, Shireen!

Saya harus buru-buru menambahkan kata-kata Raymond Williams bahwa bukan hanya jutaan anak yang jadi murid televisi. Guru-guru juga, Shireen. Seperti sepasang guru yang membuat soal ulangan itu. Saya juga tak akan pernah lupa, saya pernah melihat di acara infotainment banyak guru sengaja datang ke tempat syutingmu dan berebutan ingin berfoto bersama kau. Dan bahkan, saya juga melihat BJ Habibie datang menemuimu, Shireen, dan mengatakan sangat menyukai mata pelajaran itu.

"Saya ada di sini karena saya mengikuti sinetron Cinta Fitri dari episode pertama sampai sekarang. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.” Kau ingat kata-kata Mantan Presiden RI itu, bukan? Saya juga membaca kalimatnya itu, Shireen, yang dikutip banyak media. Dan, ah, saya lihat fotomu bersamanya ada di internet. Kalimat itu dia ucapkan saat menghadiri press conference peluncuran Cinta Fitri 3. BJ Habibie bahkan mengaku memperhatikan semua gerakan, mimik dan bahasamu sampai sedetail-detailnya. Pasti kau lebih tahu soal ini, Shireen!

Jika kau belum percaya bahwa televisi adalah institusi pendidikan, saya akan menambahkan fakta lain, Shireen. Ibuku adalah murid yang patuh dari tantemu yang kata-katanya sejuk saat mengajar di pagi hari itu. Ibuku juga menjadi sangat sejuk jika bicara padaku, Shireen, seperti tantemu itu. Dia belajar dari televisi, Shireen, di mana tantemu itu mengajar. Dan banyak kawanku pernah ingin sekali jadi penyanyi dan pemain film seperti ayahmu sebelum sadar suara dan wajah mereka tak sebagus milik ayahmu. Mereka juga berguru pada ayahmu di televisi, Shireen.

***

SHIREEN, kau menjadi mimpi banyak orang. Ibu-ibu di Lorwembun (dan di daerah lain) bermimpi anaknya menjadi seperti kau. Guru-guru bermimpi muridnya menjadi seperti kau—atau seperti BJ Habibie. Para pria, muda dan tua, bermimpi memiliki kekasih atau istri seperti kau, Fitri yang lugu, baik hati dan taat itu. Gadis-gadis, bahkan yang berkulit gelap dan berambut keriting, bermimpi menjadi kembaranmu. Saya juga, Shireen, selalu bermimpi menjadi kekasihmu. Selalu, Sayang!

Sampaikan salam dan ucapan terima kasih pada teman-temanmu, Shireen, yang telah menjadi guru kami. Sampaikan pula terima kasih kami kepada produser dan sutradara yang merumuskan mata pelajaran favorit seperti Cinta Fitri. Jangan lupa, sampaikan pula salam hormat dan terima kasih kami kepada yang menciptakan institusi pendidikan tempatmu mengajar. Sampaikan bahwa mereka sungguh berjasa! Sungguh mereka telah berjasa membodohi kami!

Seguir leyendo...

Produksi Kekuasaan dan Resistensi Perempuan dalam Media

Mariana Amiruddin*

Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun dibalik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada memaksa penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan. Iklan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan di dalamnya. Menyaksikan iklan shampo; rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan.

untuk selengkapnya klik untuk Artikel ini dengan format *.doc

Seguir leyendo...

Karakter Aktifitas

  1. Mengamati tayangan, pemberitaan media cetak, elektronik dan lain lain melalui kegiatan pemantauan dan riset.
  2. Public Media Awarnees melalui pembentukan website, konferensi pers, penulisan atas hasil pemantauan serta event.
  3. Melakukan fungsi-fungsi agitasi dan propaganda (counter issue) yang konstruktif.
  4. Mendukung program media informasi yang berwawasan atau berperspektif kemanusiaan, keadilan dan transformatif.
  5. Mendorong  masyarakat yang kritis terhadap media
  6. Melakukan proses penyadaran dan pemberdayaan publik.

Seguir leyendo...

Instrumen Kelembagaan

1.      Riset dan Analisa Wacana Media

2.      Monitoring dan evaluasi

3.      Publikasi dan penerbitan

4.      Program kaasitas pengembangan masyarakat

Seguir leyendo...

Sifat Kelembagaan

Indonesian Media Watch merupakan lembaga nirlaba dan non pofit yang mengkhususkan wilayah geraknya pada ranah media, pendidikan dan sosial budaya. 

Seguir leyendo...

Misi

  • Membangun sistem pengawasan terhadap tayangan media cetak, elektronik serta mengawal perkembangan industri media
  • Melakukan counter terhadap prilaku diskriminatif yang bersumber dari media
  • Membangun jaringan komunikasi antara publik dengan media
  • Membumikan wawasan berkeadilan, kebangsaan dan nilai-nilai kemanusiaan melalui media.

Seguir leyendo...

Visi

Memantau, mengawasi dan mendorong industri media agar memiliki perspektif  kemanusiaan dan ikut melakukan perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih baik, serta memberi kesadaran sekaligus memberdayakan masyarakat agar kritis terhadap media dengan berdasarkan wawasan, etika dan nilai-nilai kemanusiaan, untuk ikut serta mewujudkan dan menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. 

Seguir leyendo...

Landasan

Aktivitas IMW senantiasa memperhatikan dan mendasarkan langkahnya pada landasan:

  1. Nilai-Nilai Moral dan Etika
  2. Nilai-Nilai Kemanusiaan
  3. Nilai-Nilai Kebangsaan
  4. Nilai-Nilai Pendidikan
  5. Nilai-Nilai Kemajemukan
  6. Nilai-Nilai Kesatuan

Seguir leyendo...

Tujuan

Kehadiran IMW ini menjadi penting dalam dinamika kebangsaan dan kemasyarakatan saat ini, karena beberapa pertimbangan berikut:

  1. Sebagai sarana kritik dan kontrol terhadap media yang dikonsumsi publik, dan mengawal setiap bentuk diskriminasi yang ditujukan terhadap publik.
  2. Sebagai wadah untuk mengembalikan media sebagai sarana untuk menunjang percepatan proses internalisasi nilai-nilai yang humanis, toleran, dan berkeadilan.
  3. Sebagai organisasi yang mengembalikan fungsi media sebagai public education yang berwawasan, ---wujud penguatan kelembagaan sipil menuju perubahan bangsa ke arah yang lebih maju dan bermartabat.
  4. Sebagai sarana dan ruang dialog bagi masyarakat untuk menumbuhkan sikap toleransi, arif, dan bijaksana terhadap persoalan-persoalan lingkungannya.
  5. Sebagai pusat informasi dan pengetahuan bagi publik dalam mendorong kemajuan bangsa.    

Seguir leyendo...